Skip to main content

TERIMA KASIH ATAS CINTA DAN KASIH SAYANGMU, IBU


Siapa pun takkan ada yang tahu kapan kita akan kembali kepada sang pencipta. Terkadang maut datang dengan tiba-tiba dan terkadang didahului pertanda melalui sakit keras misalnya.  Maut tidak memandang apakah kita siap atau tidak, keluarga kita siap atau tidak kehilangan orang yang mereka cintai dan kesiapan-kesiapan lainnya. Hal inilah yang menghampiri seeorang ibu bernama Hartini yang harus kehilangan suaminya yang merupakan kepala keluarga dan tulang punggung keluarga. Dia harus rela dengan ketentuan Tuhan dan harus berpikir keras untuk meneruskan hidupnya serta menafkahi keenam anaknya.
Saat itu keluarga ibu Hartini sedang dalam kondisi yang berkecukupan. Suaminya seorang pegawai di salah satu perusahaan swasta dengan gaji yang cukup tinggi. Keenam anak mereka sekolah di sekolah negeri. Anak tertua mereka pada saat itu duduk di kelas satu SMKN di Jakarta. Rata-rata perbedaan umur mereka antara satu tahun dan dua tahun. Sampai pada suatu hari suami bu hartini masuk rumah sakit dan meninggal setelah dirawat selama tiga hari. Kehidupan bu Hartini pun berubah drastis dari berkecukupan menjadi serba kekurangan.
Bu Hartini harus membesarkan keenam anaknya sendiri dalam keaadaan ia tidak mempunyai pekerjaan ataupun uang pensiun dari suaminya. saat itu yang ia miliki adalah sebuah rumah yang ia tempati dan uang duka cita dari kantor dan para tetangga serta kerabat. Terasa beban begitu berat dirasakannya dan kegelisahan yang sangat akan nasibnya dan anak-anaknya. Pertanyaan di dalam hatinya bagaimana ia akan menghidupi anak-anaknya dan bagaimana sekolah anak-anaknya. Namun perasaan-perasaan buruk yang ia punya ia kalahkan dengan keyakinan bahwa tuhan yang telah menciptakannya dan anak-anaknya pastilah akan menjamin rezeki mereka.
Pengorbanan seorang ibu dengan enam orang anak ini dimulai dengan mendatangi rumah kerabatnya dan membantu pekerjaan rumah tangga mereka untuk sekedar mendapat uang untuk makan. Halaman rumahnya yang dahulu merupakan sebuah taman di rubah menjadi kios-kios kecil untuk dikontrakan sebanyak 3 kios yang harga sewanya hanya 150 ribu perbulannya. Ibu Hartini juga memohon keringan uang sekolah bagi anak-anaknya.
Terkadang untuk makan mereka menggoreng satu ikan asin dengan minyak goreng bekas (minyak jelanta)  sampai garing. Setelah itu ikan dihancurkan dan diaduk dengan nasi, ibu Hartini akan menyuapi anak-anaknya satu persatu secara bergantian agar semuanya kebagian makan. Telur merupakan barang mewah bagi mereka sehingga jika mereka mendapatkan telur maka telur tersebut akan dimasak menjadi telur aduk dan dicampurkan dengan nasi menjadi makanan yang mewah bagi mereka.
Untunglah anak-anaknya telah dibekali dengan pemahaman agama yang baik ketika ayah mereka masih hidup sehingga ajaran sang ayah terus membekas di alam bawah sadar mereka yang membuat mereka lebih tabah, menyayangi ibu mereka dan ikatan antara adik-kakak begitu kuat. Mereka patuh kepada ibu mereka, saling membantu sesama mereka dan  berbagi tugas di rumah.
Mereka akan tetap ke sekolah walaupun sering kali tidak ada uang jajan dan terkadang jalan kaki sejauh kurang lebih 3 km. Mereka sering mengalah  agar kakak tertua mereka yang sekolah di Jakarta dapat memiliki ongkos ke sekolah karena ibu mereka tidak memiliki uang yang mencukupi. Berjualan di sekolah pun mereka lakukan agar mereka mendapatkan uang untuk kebutuhan sehari-hari mereka.
Semuanya kini hanya tinggal cerita masa lalu yang dapat memberikan semangat kepada mereka yang sedang jatuh bahwa kesuksesan itu dapat diraih dengan cinta dan kasih sayang. Anak pertama ibu Hartini menjadi sarjana ekonomi dan membuka percetakan sendiri, anak kedua menjadi perwira TNI berpangkat mayor dalam usia relatif muda karena setelah lulus SMA terfavorit di kotanya ia langsung ikut tes AKABRI dan lulus, anak ketiga menjadi dosen di universitas swasta di Jakarta, anak keempat menjadi guru SD di Bekasi, anak kelima menjadi pegawai Kimia Farma, dan anak keenam lulusan Universitas Padjajaran Bandung jurusan Bahasa Jepang dan bekerja di perusahaan Jepang di Jakarta menjadi penerjemah.
Anak-anak ibu Hartini menuturkan bahwa mereka termotivasi menjadi orang yang berhasil untuk membahagiakan ibu mereka. Mereka tidak ingin pengorbanan ibu mereka sia-sia karena kemalasan mereka. Semua orang memiliki keterbatasan, tetapi menurut mereka segala keterbatasan dan keraguan dapat  diruntuhkan dengan cinta; cinta kepada orang yang kita sayangi dan cinta kepada Tuhan. 
Ibu Hartini membuktikan bahwa pengorbanan seorang ibu dengan kasih sayangnya dan menanamkan nilai-nilai agama dalam membesarkan anak akan dapat mengantarkan anak-anaknya meraih kesuksesan. Bukanlah harta yang membuat kita menjadi sukses tetapi oleh cinta dan kasih sayang yang diberikan oleh ibu yang menyayangi kita. Cinta dan kasih sayang itulah yang memotivasi kita untuk membalas perlakuan itu dengan berusaha menjadi pribadi yang sukses untuk membahagiakan ibu yang telah berkorban agar kita bahagia. Pengorbanan yang sampai kapan pun kita takkan bisa membalas dengan yang sebanding. Bila kita tidak mempunyai ibu yang baik … tetaplah sebuah kewajiban bagi kita untuk berlaku baik kepadanya. Terima kasih atas cinta dan kasih sayangmu, ibu.


Comments

Popular posts from this blog

Apakah Kita Lebih Baik dari Mereka?

Bagaikan menonton sebuah pertandingan sepak bola, penonton merasa paling tahu dan paling jago dalam bermain sepak bola. Setiap bentuk aktivitas oleh seorang pemain yang dianggap suatu kesalahan oleh penonton dijadikan bahan ejekan bahkan makian oleh mereka.  "Harusnya dioper ke depan!" "Kenapa tidak ditendang langsung?" "Biang kerok kekalahan!" Berbagai macam komentar yang seakan pemain tersebut sama sekali tidak memberikan kontribusi positif kepada timnya.  Penonton yang merasa lebih tahu bagaimana seharusnya bola itu dimainkan. Padahal kalau mereka mencoba bermain, mungkin menendang bola saja mereka belum tentu mampu. Di kehidupan sehari-hari kitapun banyak orang-orang yang seperti ini. Merasa paling benar dan mampu dengan banyak menyalahkan orang lain, memberikan kritikan yang tidak membangun, dan merasa senang dengan keburukan dan kesulitan yang dihadapi oleh orang lain. Hidupnya banyak diisi dengan mengomentari orang lain dan mencari kambing hitam ata...

NO HOAX PLEASE!

Kalau kita mau berpikir sejenak dengan akal logika yang sehat, tentulah tindak tanduk, tingkah laku, perangai dan kegiatan yang kita lakukan akan mengantarkan kita ke arah kebaikan yang akan mendatangkan ridho-Nya. Kalau Allah SWT sudah ridho, pastilah surga tempat kembali kita kelak. Namun banyak masih ada orang yang berharap surga-Nya, namun dalam keseharian melakukan kegiatan yang menjauhkan dirinya dari ridho Allah SWT. Bagaimana tidak, mulutnya dipakai untuk mencaci maki, menghina, menyebarkan berita bohong, ghibah. Kemampuan IT nya digunakan untuk menyebarkan kebohongan, kebencian, mengadu domba dan menyesatkan umat. Bagaimana bisa orang yang berharap ridho dan surga-Nya mencaci maki ajaran agama lain? Bagaimana bisa orang yang berharap ridho dan surga-Nya menyebarkan berita bohong dan fitnah di mana-mana? Bagaimana bisa orang yang berharap ridho dan surga-Nya melakukan kekerasan terhadap orang lain tanpa hak yang dibenarkan? Bagaimana bisa orang yang berharap ridho d...

MENCIPTAKAN GENERASI TANPA UTANG

GENERASI TANPA UTANG Apa mungkin generasi seperti ini ada? Kalau kita lihat sekitar kita, hampir seluruh orang memiliki utang. Apalagi di zaman dimana setiap orang ingin memiliki berbagai macam barang untuk melengkapi gaya hidup mereka yang semakin lama semakin hedonist, mengejar kesenangan. Hal ini diperparah dengan kemudahan kepemilikan barang dengan sistem cicilan yang tidak syar'i yang semakin membuat setiap individu merasa mampu untuk mencicil barang tersebut. Bahkan walaupun tidak mampu, dipaksakan untuk mencicil dengan alasan "kalo tidak nyicil mana bisa punya barang." Mindset nyicil inilah yang ditularkan dari generasi ke generasi sehingga kebiasaan berutang mengakar jauh ke alam bawah sadar yang membuat kita tidak bisa lepas dari utang. Kapankah kita mulai belajar berutang sehingga menjadi kebiasaan buruk yang sulit dihindari? Kebiasaan berutang ini bisa muncul bahkan saat kita belum memiliki penghasilan sendiri. Saat kita lupa bawa uang jajan, kita...